Pages

Kamis, 01 Desember 2011

Tugas Akhir SAS

Blog ini dibuat untuk memenuhi Tugas Akhir mata kuliah Sistem Alam Semesta di Institut Teknologi Bandung.


Di dalam blog ini berisi seputar informasi mengenai salah satu sistem alam semesta kita, yaitu bumi. Dimana kami lebih membahas kepada bencana alam yang terjadi di bumi, yaitu banjir dan tsunami khususnya mengenai mitigasi bencana tersebut. 


Kami dari kelompok 3 K-10 FTMD 2011 berharap blog ini menjadi bacaan yang bermanfaat bagi para pembaca ;)


1. Muhammad Ridho Rahman (16911238)
2. Kartika Dwi Karina (16911031)
3. Elmo Tuwaidan (16911196)
4. Ahmad Dzulfahmy (13111701)
5. Hafizhul Aziz (16911268)
6. Waliya Talatop (16911010)
7. Yulistian Nugraha (16911001)


KELOMPOK 3
(dari kiri atas: Ridho, Kartika, Elmo, Yulistian, Zulfahmy, Wali, Hafizhul)
Terimakasih :)

Video Detektor Banjir

Video Detektor Tsunami

Apa itu Mitigasi Bencana?

Pengertian Mitigasi 
Dari latar belakang tentang bencana alam di Indonesia, mitigasi bencana merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik tolak utama dari manajemen bencana. Sesuai dengan tujuan utamanya yaitu mengurangi dan/atau meniadakan korban dan kerugian yang mungkin timbul, maka titik berat perlu diberikan pada tahap sebelum terjadinya bencana, yaitu terutama kegiatan penjinakan/peredaman atau dikenal dengan istilah Mitigasi.
Mitigasi pada prinsipnya harus dilakukan untuk segala jenis bencana, baik yang termasuk ke dalam bencana alam (natural disaster) maupun bencana sebagai akibat dari perbuatan manusia (man-made disaster).
Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik itu korban jiwa dan/atau kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada kehidupan dan kegiatan manusia. Untuk mendefenisikan rencana atau srategi mitigasi yang tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian resiko (risk assessmemnt)
Kegiatan mitigasi bencana hendaknya merupakan kegiatan yang rutin dan berkelanjutan (sustainable). Hal ini berarti bahwa kegiatan mitigasi seharusnya sudah dilakukan dalam periode jauh-jauh hari sebelum kegiatan bencana, yang seringkali datang lebih cepat dari waktu-waktu yang diperkirakan, dan bahkan memiliki intensitas yang lebih besar dari yang diperkirakan semula.
Tujuan Mitigasi 
Tujuan utama (ultimate goal) dari Mitigasi Bencana adalah sebagai berikut : 

  1. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana khususnya bagi penduduk, seperti korban jiwa (kematian), kerugian ekonomi (economy costs) dan kerusakan sumber daya alam.
  2. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan.
  3. Meningkatkan pengetahuan masyarakat (public awareness) dalam menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana, sehingga masyarakat dapat hidup dan bekerja dengan aman (safe).
Jenis _ Jenis Mitigasi
Secara umum, dalam prakteknya mitigasi dapat dikelompokkan ke dalam mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik, sementara mitigasi non struktural antara lain meliputi perencanaan tata guna lahan disesuaikan dengan kerentanan wilayahnya dan memberlakukan peraturan (law enforcement) pembangunan. Dalam kaitan itu pula, kebijakan nasional harus lebih memberikan keleluasan secara substansial kepada daerah-daerah untuk mengembangkan sistem mitigasi bencana yang dianggap paling tepat dan paling efektif-efisien untuk daerahnya.
  •  Mitigasi Struktural
Mitigsasi struktural merupakan upaya untuk meminimalkan bencana yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan menggunakan pendekatan teknologi, seperti pembuatan kanal khusus untuk pencegahan banjir, alat pendeteksi aktivitas gunung berapi, bangunan yang bersifat tahan gempa, ataupun Early Warning System yang digunakan untuk memprediksi terjadinya gelombang tsunami.
Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana. Bangunan tahan bencana adalah bangunan dengan struktur yang direncanakan sedemikian rupa sehingga bangunan tersebut mampu bertahan atau mengalami kerusakan yang tidak membahayakan apabila bencana yang bersangkutan terjadi. Rekayasa teknis adalah prosedur perancangan struktur bangunan yang telah memperhitungkan karakteristik aksi dari bencana.
  • Mitigasi Non-Struktural
Mitigasi non-struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya tersebut di atas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi ini. Contoh lainnya adalah pembuatan tata ruang kota, capacity building masyarakat, bahkan sampai menghidupkan berbagaia aktivitas lain yang berguna bagi penguatan kapasitas masyarakat, juga bagian ari mitigasi ini. Ini semua dilakukan untuk, oleh dan di masyarakat yang hidup di sekitar daerah rawan bencana.
Kebijakan non struktural meliputi legislasi, perencanaan wilayah, dan asuransi. Kebijakan non struktural lebih berkaitan dengan kebijakan yang bertujuan untuk menghindari risiko yang tidak perlu dan merusak. Tentu, sebelum perlu dilakukan identifikasi risiko terlebih dahulu. Penilaian risiko fisik meliputi proses identifikasi dan evaluasi tentang kemungkinan terjadinya bencana dan dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Kebijakan mitigasi baik yang bersifat struktural maupun yang bersifat non struktural harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Pemanfaatan teknologi untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana harus diimbangi dengan penciptaan dan penegakan perangkat peraturan yang memadai yang didukung oleh rencana tata ruang yang sesuai. Sering terjadinya peristiwa banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kekeringan di beberapa tempat di Indonesia pada musim kemarau sebagian besar diakibatkan oleh lemahnya penegakan hukum dan pemanfaatan tata ruang wilayah yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan sekitar. Teknologi yang digunakan untuk memprediksi, mengantisipasi dan mengurangi risiko terjadinya suatu bencana pun harus diusahakan agar tidak mengganggu keseimbangan lingkungan di masa depan. 


Asas dan Prinsip Dasar 
Secara umum, Kebijaksanaan Penanggulangan Bencana di Indonesia didasarkan pada asas-asas sebagai berikut :
1. Kebersamaan dan kesukarelaan
2. Koordinasi dan Intergrasi
3. Kemandirian
4. Cepat dan tepat
5. Prioritas
6. Kesiapsiagaan
7. Kesemestaan 


Dalam penyusunan strategi nasional mengenai mitigasi bencana terdapat beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan untuk dijadikan dasar penyusunan kebijaksanaan. Sebagai contoh beberapa prinsip yang digunakan Federal Emergency Management Agency (FEMA) dalam konteks Indonesia dapat digunakan, yaitu
Langkah/kegiatan untuk mengurangi dampak/resiko dari bencana: 

  1. Diutamakan untuk keberhasilan ekonomi jangka panjang secara keseluruhan
  2. Sejalan (compatible) dengan bencana lain
  3. Dievaluasi agar diperoleh hasil terbaik
  4. Sejalan dengan bencana teknologi
  5. Bersifat lokal
  6. Penekanan pada mitigasi pro-aktif, sebelum tanggap-darurat
  7. Identifikasi bahaya (Hazard Identification) dan penilaian resiko (Risk Assesment)
  8. Kerjasama pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan pihak swasta
  9. Sejalan dengan perlindungan/pelestarian sumberdaya alam/lingkungan
  10. Pihak yang memilih untuk memperkirakan resiko yang lebih besar harus bertanggungjawab atas pilihan tersebut
Beberapa pertimbangan dalam menyusun program mitigasi, khususnya di Indonesia adalah : 
  1. Mitigasi bencana harus diintegrasikan dengan proses pembangunan
  2. Fokus bukan hanya dalam mitigasi bencana tapi juga pendidikan, pangan, tenaga kerja, perumahan dan kebutuhan dasar lainnya
  3. Sinkron terhadap kondisi sosial, budaya serta ekonomi setempat
  4. Dalam sektor informal, ditekankan bagaimana meningkatkan kapasitas masyarakat untuk membuat keputusan, menolong diri sendiri dan membangun sendiri
  5. Menggunakan sumber daya dan dana lokal (sesuai prinsip desentralisasi)
  6. Mempelajari pengembangan konstruksi rumah yang aman bagi golongan masyarakat tidak mampu, dan pilihan subsidi biaya tambahan membangun rumah
  7. Mempelajari teknik merombak (pola dan struktur) pemukiman
  8. Mempelajari tata guna lahan untuk melindungi masyarakat yang tinggal di daerah yang rentan bencana dan kerugian, baik secara sosial, ekonomi, maupun implikasi politik
  9. Mudah dimengerti dan diikuti oleh masyarakat
Source:
BAKORNAS PBP 2002, Arahan Kebijakan Mitigasi Bencana Perkotaan di Indonesia, diakses tanggal 21 April 2008,

Minggu, 27 November 2011

Alat Deteksi Tsunami Buatan Indonesia



indosiar.com, Cilegon - Setelah beberapa kali memasang alat pendeteksi dini tsunami buatan luar negeri dibeberapa tempat strategis, pemerintah Indonesia akhirnya memproduksi dan memasang alat pendeteksi tsunami produksi dalam negeri. 
Pendeteksi berbobot 1,23 ton yang disebut Buoy Tsunami Indonesia ini diujicobakan di Perairan Selat Sunda Merak Banten sebelum dipasang di Perairan Samudera Hindia.


Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan uji coba penggunaan alat pendeteksi dini tsunami buatannya di Perairan Selat Sunda Merak Cilegon Banten Selasa (10/04/07) kemarin.
Alat yang disebut Buoy Tsunami Indonesia ini merupakan alat pendeteksi tsunami pertama yang berhasil diciptakan para peneliti Indonesia. Rencananya alat dengan bobot seberat 1,23 ton berharga miliaran rupiah ini akan diletakkan di Perairan Samudera Hindia untuk memberi peringatan dini terhadap terjadinya tsunami di daerah Bengkulu, Lampung, Banten dan Jakarta.


Menurut Ridwan, alat yang terdiri dari dua bagian ini salah satunya akan diletakkan di dasar laut pada kedalaman 2100 meter. Sedang yang lainnya akan diletakkan mengambang di permukaan laut Samudera Hindia.


Alat ini akan bekerja disaat terjadinya gelombang tsunami pertama, dimana sinyal yang dihasilkannya bisa diterima kantor BPPT hanya dalam waktu 3 menit.Sehingga bisa langsung diinformasikan kepada masyarakat. Pemasangan alat ini dilakukan pagi tadi dan menjadi alat pertama buatan Indonesia yang dipasang di Indonesia diantara 21 alat serupa buatan luar negeri. (Heni Murniati Supaidi/Sup)

Mitigasi Tsunami

Mitigasi meliputi segala tindakan yang mencegah bahaya, mengurangi kemungkinan terjadinya bahaya, dan mengurangi daya rusak suatu bahaya yang tidak dapat dihindarkan. Mitigasi adalah dasar managemen situasi darurat. Mitigasi dapat didefinisikan sebagai “aksi yang mengurangi atau menghilangkan resiko jangka panjang bahaya bencana alam dan akibatnya terhadap manusia dan harta-benda” (FEMA, 2000). Mitigasi adalah usaha yang dilakukan oleh segala pihak terkait pada tingkat negara, masyarakat dan individu.
Untuk mitigasi bahaya tsunami atau untuk bencana alam lainnya, sangat diperlukan ketepatan dalam menilai kondisi alam yang terancam, merancang dan menerapkan teknik peringatan bahaya, dan mempersiapkan daerah yang terancam untuk mengurangi dampak negatif dari bahaya tersebut. Ketiga langkah penting tersebut: 1) penilaian bahaya(hazard assessment), 2) peringatan (warning), dan 3) persiapan(preparedness) adalah unsur utama model mitigasi.
1. Penilaian Bahaya (Hazard Assessment)
Unsur pertama untuk mitigasi yang efektif adalah penilaian bahaya. Untuk setiap komunitas pesisir, penilaian bahaya tsunami diperlukan untuk mengidentifikasi populasi dan aset yang terancam, dan tingkat ancaman (level of risk). Penilaian ini membutuhkan pengetahuan tentang karakteristik sumber tsunami, probabilitas kejadian, karakteristik tsunami dan karakteristik morfologi dasar laut dan garis pantai. Untuk beberapa komunitas, data dari tsunami yang pernah terjadi dapat membantu kuantifikasi faktor-faktor tersebut. Untuk komunitas yang tidak atau hanya sedikit memiliki data dari masa lalu, model numerik tsunami dapat memberikan perkiraan. Tahapan ini umumnya menghasilkan peta potensi bahaya tsunami, yang sangat penting untuk memotivasi dan merancang kedua unsur mitigasi lainnya, peringatan dan persiapan.
1.1. Data rekaman tsunami (Historical tsunami data)
Rekaman data umumnya tersedia dalam banyak bentuk dan di banyak tempat. Format yang ada mencakup publikasi dan katalog manuskrip, laporan penyelidikan lapangan, pengalaman pribadi, berita koran, rekaman film dan video. Salah satu instansi riset penyimpan data terbesar adalah International Tsunami Information Center di Honolulu, Hawaii.
1.2. Data paleotsunami
Penelitian paleotsunami juga dapat dilakukan pada endapan tsunami di daerah pesisir dan bukti-bukti lainnya yang terkait dengan pergeseran sesar penyebab gempabumi tsunamigenik.
1.3. Penyelidikan pasca tsunami
Survey penyelidikian pasca tsunami dilakukan mengikuti suatu peristiwa tsunami yang baru terjadi untuk mengukur batas inundasi dan merekam keterangan saksi mata mengenai jumlah gelombang, waktu kedatangan gelombang, dan gelombang mana yang terbesar.
1.4. Pemodelan numerik
Seringkali karena rekaman data minimal, satu-satunya jalan untuk menentukan daerah potensi bahaya adalah menggunakan pemodelan numerik. Model dapat dimulai dari skenario terburuk. Informasi ini kemudian menjadi dasar pembuatan peta evakuasi tsunami dan prosedurnya.
2. Peringatan (warning)
Unsur kunci kedua untuk mitigasi tsunami yang efektif adalah suatu sistem peringatan untuk memberi peringatan kepada komunitas pesisir tentang bahaya tsunami yang tengah mengancam. Sistem peringatan didasarkan kepada data gempabumi sebagai peringatan dini, dan data perubahan muka airlaut untuk konfirmasi dan pengawasan tsunami. Sistem peringatan juga mengandalkan  berbagai saluran komunikasi untuk menerima data seismik dan perubahan muka airlaut, dan untuk memberikan pesan kepada pihak yang berwenang. Pusat peringatan (warning center) haruslah: 1) cepat – memberikan peringatan secepat mungkin setelah pembentukan tsunami potensial terjadi, 2) tepat – menyampaikan pesan tentang tsunami yang berbahaya seraya mengurangi peringatan yang keliru, dan 3) dipercaya – bahwa sistem bekerja terus-menerus, dan pesan mereka disampaikan dan diterima secara langsung dan mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
2.1. Data
Sistem peringatan membutuhkan data seismik dan muka airlaut setiap saat secara cepat (real atau near-real time). Sistem ini juga membutuhkan rekaman data gempabumi dan tsunami yang pernah terjadi. Kedua jenis data tersebut dipergunakan untuk dapat secara cepat mendeteksi dan melokalisasi gempabumi tsunamigenik potensial, untuk mengkonfirmasi apakah tsunami telah terbentuk, dan untuk memperkirakan dampak potensial terhadap daerah pesisir yang menjadi tanggungjawabnya.
2.1.1. Data seismik
Sinyal seismik – getaran dari gempabumi yang bergerak secara cepat melalui kulit bumi – dipergunakan oleh pusat peringatan untuk mendeteksi terjadinya gempabumi, dan kemudian untuk menentukan lokasi dan skalanya. Berdasarkan informasi tersebut, statistik likelihood tsunami yang terbentuk dapat diperkirakan secara cepat, dan peringatan dini atau informasi yang sesuai dapat dikeluarkan.
Seismometer standard periode pendek (0.5-2 sec/cycle) dan periode panjang (18-22 sec/cycle) menghasilkan data untuk menentukan lokasi dan skala gempabumi. Seismometer skala luas — broadband seismometers (0.01-100 sec/cycle) dapat pula dipergunakan untuk kedua tujuan diatas dan juga untuk penghitungan momen seismik yang sangat berguna untuk menyempurnakan analisis data yang dilakukan.
2.1.2. Data muka airlaut
Pengukur variasi muka laut (water-level gauges) adalah instrumen yang sangat penting dalam sistem peringatan tsunami. Mereka dipergunakan untuk konfirmasi secara cepat tentang kehadiran atau tidaknya suatu tsunami mengikuti peristiwa gempabumi, untuk mengamati perkembangan tsunami, untuk membantu estimasi tingkat bahaya, dan menyediakan alasan untuk memutuskan bahaya telah berlalu. Gauges kadangkala merupakan satu-satunya cara untuk mendeteksi tsunami ketika data seismik tidak mendukung, atau bila tsunami bukan disebabkan oleh gempabumi.
Untuk bisa memberikan peringatan secara efektif, gauges perlu diletakkan di dekat sumber tsunami sehingga konfirmasi secara cepat diperoleh, apakah tsunami telah terbentuk atau tidak, dan perkiraan awal mengenai ukuran tsunami. Mereka harus pula diletakkan diantara sumber dan daerah pesisir yang terancam untuk memonitor perkembangannya dan membantu memprediksi dampaknya. Untuk tsunami lokal, gauges dibutuhkan di sepanjang garis pantai untuk memperoleh konfirmasi tercepat dan untuk evaluasi.
2.1.3. Data rekaman tsunami dan gempabumi
Pusat peringatan membutuhkan akses cepat kepada data rekaman tsunami dan gempabumi untuk membantu memperkirakan apakah suatu gempabumi dari suatu lokasi dapat menyebabkan tsunami, dan apakah tsunami tersebut berbahaya bagi daerah tanggung jawab mereka. Sebagai contoh, adalah sangat berguna untuk mengetahui bila zona subduksi pada suatu daerah pernah mengalami gempabumi berskala 8 tetapi tidak pernah menghasilkan tsunami. Juga sangat berguna untuk mengetahui karakteristik rekaman data muka airlaut untuk tsunami yang berbahaya dan yang tidak berbahaya pada suatu daerah.
2.1.4. Data model numerik
Dewasa ini, pusat peringatan mulai mempergunakan data dari model numerik untuk memberikan panduan dalam prediksi tingkat bahaya tsunami berdasarkan parameter gempabumi dan data muka airlaut tertentu.
2.1.5. Data lainnya
Jenis data lainnya yang diperlukan oleh pusat peringatan adalah seperti data letusan gunungapi atau tanah longsor yang terjadi di dekat tubuh airlaut.
2.2. Komunikasi
Sistem peringatan tsunami membutuhkan komunikasi yang unik dan ekstensif. Data seismik dan perubahan muka airlaut harus dikirim dari lokasi secara cepat dan dapat dipercaya oleh penerima.
2.2.1 Akses data real time
Data seismik dan perubahan muka airlaut supaya berguna haruslah dapat diterima secara cepat real atau very near real time. Banyak teknik komunikasi yang bisa dipergunakan, seperti radio VHF, gelombang mikro, transmisi satelit.
2.2.2. Penyebaran pesan
Penyampaian pesan kepada para pengguna juga sama pentingnya sebagaimana mendapatkan data secara real time. Penyampaian pesan dapat secara cepat dilakukan melalui Global Telecommunications System(GTS) atau Aeronautical Fixed Telecommunications Network (AFTN). Pesan dapat pula disampaikan secara konvensional melalui e-mail, telpon atau fax.
3. Persiapan
Kegiatan kategori ini tergantung pada penilaian bahaya dan peringatan. Persiapan yang layak terhadap peringatan bahaya tsunami membutuhkan pengetahuan tentang daerah yang kemungkina terkena bahaya (peta inundasi tsunami) dan pengetahuan tentang sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus mengevakuasi dan kapan saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tanpa kedua pengetahuan akan muncul kemungkinan kegagalan mitigasi bahaya tsunami. Tingkat kepedulian publik dan pemahamannya terhadap tsunami juga sangat penting. Jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang yang menempatkan lokasi fasilitas vital masyarakat seperti sekolah, kantor polisi dan pemadam kebakaran, rumah sakit berada diluar zona bahaya. Usaha-usaha keteknikan untuk membangun struktur yang tahan terhadap tsunami, melindungi bangunan yang telah ada dan menciptakan breakwater penghalang tsunami juga termasuk bagian dari persiapan.
3.1. Evakuasi
Rencana evakuasi dan prosedurnya umumnya dikembangkan untuk tingkat lokal, karena rencana ini membutuhkan pengetahuan detil tentang populasi dan fasilitas yang terancam bahaya, dan potensi lokal yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah. Tsunami lokal hampir tidak menyediakan waktu yang cukup untuk peringatan formal dan disertai gempabumi, sementara tsunami distan mungkin memberi waktu beberapa jam untuk persiapan sebelum gelombang yang pertama tiba. Sehingga persiapan evakuasi dan prosedurnya harus disiapkan untuk kedua skenario tersebut.
3.1.1. Evakuasi untuk tsunami lokal
Ketika tsunami lokal terjadi, satu-satunya tanda yang ada mungkin hanyalah goncangan gempabumi, atau suatu kondisi yang tidak biasa pada tubuh airlaut. Masyarakat harus mampu mengenali tanda-tanda bahaya tersebut, kemudian pindah segera dan secepatnya kearah darat atau ke arah dataran tinggi karena gelombang tsunami dapat menghantam dalam hitungan menit. Para pengungsi juga menghadapi bahaya yang disebabkan oleh gempabumi seperti tanah longsor,  runtuhnya bangunan dan jembatan yang mungkin menghambat usaha mereka dalam menyelamatkan diri. Untuk itu diperlukan sekali kepedulian publik dan pendidikan tentang tsunami dan kemungkinan bahaya yang mengikuti. Hal ini juga membutuhkan perencanaan resmi tentang zona bahaya dan rute evakuasi yang aman. Kunci utama untuk memotivasi pendidikan publik adalah pemahaman tentang bahaya tsunami dan dimana kemungkinan banjir tsunami tersebut terjadi.
3.1.2. Evakuasi untuk tsunami distan.
Pada kasus tsunami distan, pihak yang berwenang masih memiliki waktu yang cukup untuk mengorganisir evakuasi. Mengikuti peringatan dari pusat peringatan bahwa tsunami telah terbentuk dan waktu kedatangan gelombang pertama telah diketahui, pihak yang berwenang membuat keputusan tentang apakah evakusi diperlukan. Keputusan ini didasarkan kepada data rekaman atau model tentang ancaman dari sumber tsunami dan panduan lebih lanjut dari pusat peringatan tentang pergerakan tsunami. Masyarakat diinformasikan tentang bahaya yang mengancam, dan diinstruksikan tentang bagaimana, kemana, dan kapan harus mengungsi. Badan-badan pelayanan masyarakat seperti polisi, pemadam kebakaran dan tentara, difungsikan untuk membantu kelancaran pengungsian. Zona evakuasi dan rute pengungsian harus ditentukan secara aman, masyarakat harus cukup diberi pengarahan tentang bahaya tsunami dan prosedur evakuasi, sehingga mereka tidak tetap berada di tempat tinggal ketika tsunami datang atau telah kembali ketika ancaman masih belum berakhir. Evakuasi yang tidak perlu harus dikurangi untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem.
3.2. Pendidikan
Mitigasi tsunami harus mengandung rencana untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan oleh masyarakat luas, pemerintah lokal, dan para pembuat kebijakan tentang sifat-sifat tsunami, kerusakan dan bahaya yang disebabkan dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi bahaya.
3.2.1 Pendidikan publik.
Pendidikan publik yang dilaksanakan akan efektif bila ikut memperhitungkan bahasa dan budaya lokal, ada-istiadat, praktek keagamaan, hubungan masyarakat dengan kekuasaan, dan pengalaman tsunami masa lalu.
3.2.2. Pendidikan untuk para operator sistem peringatan, manager bencana alam, dan pembuat kebijakan.
Operator sistem peringatan, manager bencana alam, dan pembuat kebijakan harus memenuhi suatu tingkat pendidikan dan pemahaman terhadap bahaya tsunami. Sebab tsunami, baik lokal maupun distan, jarang terjadi pada suatu daerah tertentu, sehingga orang-orang kunci tersebut tidak memiliki pengalaman probadi terhadap fenomena yang menjadi dasar keputusan menyangkut persiapan atau tindakan yang harus dilakukan ketika bahaya tersebut menimpa.
3.3. Tata guna lahan
Sebagai konsekuensi pertumbuhan penduduk global, daerah pesisir yang rawan tsunami berkembang dengan cepat. Karena tidak mungkin untuk menghentikan pembangunan, sebaiknya dilakukan pencegahan pembangunan fasilitas umum pada zona rawan bencana tsunami, seperti sekolah, polisi, pemadam kebakaran dan rumah sakit yang memiliki arti penting bagi populasi ketika bahaya sewaktu-waktu terjadi. Sebagai tambahan, hotel dan penginapan juga perlu ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan prosedur evakuasi untuk memberikan keamanan kepada para tamunya.
3.4. Keteknikan
Keteknikan dapat membantu mitigasi tsunami. Bangunan dapat diperkuat sehingga tahan terhadap tekanan gelombang dan arus yang kuat. Fondasi struktur dapat dikonstruksikan menahan erosi dan penggerusan oleh arus. Lantai dasar suatu bangunan dapat dibuat terbuka sehingga mampu membiarkan airlaut melintas, hal ini menolong mengurangi sifat penggerusan arus pada fondasi. Bagian penting dari suatu bangunan seperti generator cadangan, motor elevator dapat ditempatkan pada lantai yang tidak terkena banjir. Benda-benda berat berbahaya seperti tanki yang dapat hanyut terbawa banjir sebaiknya ditanamkan ke tanah. Sistem transportasi dikonstruksikan atau dimodifikasi sehingga mampu memfasilitasi evakuasi massal secara cepat keluar dari daerah bahaya. Beberapa struktur penahan gelombang laut seperti seawall, sea dikes, breakwaters, river gates, juga mampu menahan atau mengurangi tekanan tsunami.

Sabtu, 26 November 2011

Alat pendeteksi banjir pertama di indonesia

Palu,beritapalu.com - Bulan Desember ini, banjir melanda hampir seluruh daerah di indonesia. Mulai dari daerah terpencil hingga ibukota negara tak luput dari serangan banjir.untuk mengurangi dampak akibat serangan banjir ini. Di palu, Sulawesi Tengah, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai atau BP DAS Palu Poso, memasang alat pendeteksi banjir di daerah-daerah rawan banjir. Alat ini akan berbunyi keras ketika banjir melanda dan memberi peringatan awal sehingga warga lebih waspada.


Di kota palu, alat pendeteksi banjir ini dipasang di jalan sungai Bongka, Kelurahan Ujuna, Kecamatan Palu Barat. Kelurahan ini kerap dilanda banjir. Bahkan,akibat banjir tanggul yang dipasang di
sungai palu jebol sehingga air masuk ke rumah-rumah warga.

Alat pendeteksi banjir yang hanya terdapat di kalimantan selatan dan Sulawesi Tengah ini dipasang di halaman rumah seorang warga yang berdampingan dengan sungai Palu. Alat terdiri atas dua tiang yang dipasangi lampu, sirene dan pemancar satelit serta boks berisi detektor. Lubang yang terdapat di satu tiang berfungsi sebagai deteksi dan pemancar. Saat banjir menggenangi lubang ini, sirene akan berbunyi keras dan pemancar satelit akan memberikan informasi ke instansi terakit di Jakarta bahwa di palu terjadi banjir.

Menurut Baharuddin, warga Palu, suara sirene alat pendeteksi banjir ini sangat keras. Bisa terdengar antara 2-3 kilometer.

Menurut Kepala Balai Pengelolaan DAS Palu Poso Sri Sayuto, alat pendeteksi ini bukan untuk mencegah banjir, tapi untuk memberikan informasi kepada warga bahwa dalam beberapa saat akan terjadi banjir sehingga warga bisa bersiap-siap lebih awal.

pemasangan alat deteksi banjir ini tentu membuat palu tak perlu kuatir bila banjir datang tiba-tiba. Namun,yang terbaik tentu mencegah terjadinya banjir dengan memelihara hutan dan lingkungan sekitar kita.